Kesadaran diri

Hidup di jaman yang serba instan ini, kita selalu disuguhi hal-hal yang sangat mengejutkan. Mulai dari alat yang namanya telpon sampai kita ketemu yang namanya hp, bahkan kita bisa bercakap dengan hp ini sambil melihat orang yang jauhnya di seberang sana. Wah, memang kemajuan yang sangat hebat. Bahkan yang namanya berita sampai yang tergolong menyangkut rumah tangga orang yang mungkin kita belum kenal siapa diapun kita bisa tahu dengan detail.

Dalam suasana seperti sekarang ini, dengan fenomena yang belakangan marak mulai dari perselingkuhan sampai poligami yang keduanya sangat jauh berbeda maknanya, nilainya pun juga berbeda, agaknya pesan Khalifah Umar bin Khottob layak kita renungkan kembali. Kata beliau, “Haasibu anfusakum qobla antuhaasabuu” (Hitung‑hitunglah dirimu sebelum dihitung oleh Yang Maha Menghitung)


Jika selama ini kita sibuk menghitung orang lain, maka hendaknya kita bisa mengubah kebiasaan itu. Hendaknya kita sibuk menghitung perjalanan hidup diri sendiri. Dengan demikian akan mengetahui seperti apa sih “gambaran” diri ini. Jangan‑jangan hebat, baik dan sempuma yang kita tampakkan mendapat protes dari hati kita sendiri yang secara jujur mengatakan diri kita tidak sehebat, sebaik dan sesempuma yang terlihat orang. Sebab selama ini kita lebih banyak memakai topeng ketimbang menampakkan wajah asli kita.

Terkadang, diakui atau tidak kita lebih mudah untuk menunjukkan bahwa kita itu orang baik. Kalo ngomong dibagus-bagusin, tingkah laku disopan-sopanin apalagi dengan atasan kita. Walaupun terkadang dengan alasan sopan santun kita terpaksa berbuat hal yang demikian. Akan tetapi ketika kita sudah sampai di rumah dan berhadapan dengan oarng di dalam rumah, baik bapak, ibu, adik atau kakak, bahkan istri atau suami kita terkadang dengan seenaknya kita ngomong atau bertingkah.

Ada baiknya kita mengaca pada diri sendiri. Apakah kita layak disebut sebagai kepala keluarga yang baik. Yaitu, kepala keluarga yang jadi panutan istri dan anaknya. Bukan sosok manusia yang hanya bisa membentak, memerintah, dan melarang. Tanpa banyak bicara anggota keluarganya mengakui bahwa dia memang layak jadi panutan.
Hal lain yang perlu bercermin adalah, apakah kita sudah menjadi hamba yang baik. Yaitu, hamba rajin dalam ibadah kepada Tuhan. Ibadah yang bersifat dinamis, tidak statis. Maksudnya, ibadah itu tidak berhenti pada ibadah itu sendiri. Ada istilah ibadah dinamis yang berarti ada bekasnya dalam hidup orang itu.

Misalnya, seseorang yang shalat, tidak cukup hanya dengan shalat itu sendiri. Dari shalat yang dikerjakan ada ‘buahnya’ dalam amal keseharian. Shalat menggambarkan perjalanan hidup ini. Ada takbir dengan posisi tegak, rukuk, lalu sujud. Ini gambaran hidup kita. Setiap manusia, mengalami usia tegak seperti posisi takbir. Tetapi, ini juga tidak lama, setelah itu usia kita akan rukuk. Dari rukuk berubah menjadi sujud usia kita. Perjalanan usia yang terakhir adalah salam, yaitu mengucapkan salam kepada dunia yang kita singgahi ini. Dengan pemahaman seperti ini, maka ibadah kita akan dinamis. Tidak statis, ibadah yang statis, hanya berhenti pada ibadah itu sendiri, tidak ada bekas dalam hidupnya. Apakah ibadah yang kita kerjakan sudah membawa bekas? Yang bisa menjawab hanya diri kita sendiri.Seiring dengan bertambahnya umur, maka perlu ada semangat baru. Yaitu, semangat untuk meningkatkan nilai kita yang maknanya bisa berupa fisik juga bisa berupa jiwa. Secara fisik artinya, kita meningkat dari suatu keadaan yang dimurkai Allah menuju keadaan yang diridhoi Allah. Secara jiwa, artinya meningkat dari kondisi yang tidak baik menjadi baik. Dari jiwa labil menjadi jiwa yang matang. Dari malas menjadi rajin. Dari enggan memberi pengorbanan menjadi rela berkorban, dan sebagainya. Dengan peningkatan nilai seperti itu, maka jiwa ini akan semakin dewasa dan matang. Jika hal ini diperluas, maka peningkatan nilai jiwa akan megubah pola hidup seseorang dari yang biasa “picik” ke dalam menjadi jiwa yang berwawasan jauh ke depan. Pikirannya matang, dan selalu ingin maju membangun masa depan yang lebik baik. Maka, ada baiknya kita jujur pada diri sendiri. Apakah selama ini termasuk orang statis, bahkan mundur ke belakang, atau sebagai orang maju, dinamis, dan mau membangun masa depan ke arah yang lebih baik. Ini semua terpulang kepada diri kita.

Posted in mmm. 6 Comments »

6 Responses to “Kesadaran diri”

  1. kartiwansetiawan Says:

    Salam kenal,menurut Bapak aplikasi apa yg harus saya lakukan dalam memaknai kesadaran diri ini dalam keseharian saya, terima kasih…
    ksetiawan.wordpress.com

  2. sautparl Says:

    selama ini saya mencari metode untuk merubah kebiasaan. apakah bapak punya metode jitu untuk itu? saya kira kesadaran diri belumlah cukup untuk merubah sebuah kebiasaan. terkadang kesadaran diri ini tidak otomatis terekspresi dengan apa adanya.

  3. dimensi5 Says:

    Kuncinya adalah kemauan dan disiplin diri. Selama ada kemauan dan sedikit memaksa diri untuk berubah, insyaallah ada hasilnya. Untuk pertama kali bisanya sulit, bahkan cenderung nanti-nanti. Intinya lakukan sekarang juga dan lakukan berulah-ulang sehingga menjadi kebiasaan yang baik.

  4. fidah Says:

    bagaimana caranya agar kita tidak pernah berpikir pesimis terus????
    aku ud coba untuk berpikir positif dengan apa yang saya kerjakan. tapi hasilnya kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan

  5. dimensi5 Says:

    Cobalah utk serahkan suatu hal/kejadian/peristiwa kepada Allah swt. Hindarkan diri dari prasangka jelek yang berlebihan. Pikiran pesimis muncul karena kita terlalu buruk dalam berprasangka. Jangan berputus asa, ingatlah sesuatu itu pasti ada pelajaran yang bisa dipetik.

  6. Justi Says:

    Salam Bahagia untuk Anda semua.
    Setiap Manusia Hidup tersebut akan selalu di hadapkan pada dua pilihan,selalu, juga pada saat ini pun kita sedang dihadapkan pada suatu pilihan atas segala sesuatu yg kiranya akan jauh lebih baik dan lebih baik lagi adanya, sekalipun sudah demikian baik, dan pilihan dimana Kehidupan kita akan menjadi jauh lebih hancur dan lebih hancur lagi adanya, meskipun sudah dalam kehancuran.
    Karena setiap Manusia Hidup tersebut sudah mendapatkan suatu kesadaran- Diri atas segala sesuatu yg terjadi dalam sepanjang Hidupnya tersebut. Tanpa suatu Kesadaran-Diri tersebut maka Manusia tidak akan sanggup untuk menyadari Dirinya dan Kehidupannya tersebut.


Leave a reply to Justi Cancel reply